Pemerintah Indonesia telah meresmikan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) sebagai strategi untuk mengelola aset negara senilai Rp14.000 triliun (USD900 miliar) guna memperkuat ketahanan ekonomi nasional. Namun, dalam diskusi yang digelar Institute for Development of Economics & Finance (INDEF), para ekonom menyoroti berbagai tantangan, termasuk inefisiensi tata kelola, intervensi politik, dan ketidakjelasan strategi penggabungan BUMN. Prof. Didik J. Rachbini menegaskan bahwa keberhasilan Danantara sangat bergantung pada reformasi struktural untuk meningkatkan produktivitas BUMN, sementara Esther Sri Astuti mengkritisi potensi ketidakefisienan akibat pengelolaan aset yang tidak optimal.
Selain itu, peluncuran Danantara mendapat respon negatif dari pasar, terlihat dari kontraksi IHSG pada hari pertama operasionalnya, yang menurut Andry Satrio Nugroho menunjukkan rendahnya kepercayaan investor terhadap independensi dan tata kelolanya. Risiko moral hazard juga dikhawatirkan muncul jika aset strategis BUMN yang memiliki kewajiban layanan publik (seperti PLN dan Pertamina) justru dialihkan untuk investasi komersial. Ketidaksesuaian antara proyeksi dividen BUMN sebagai sumber pendanaan—yang diklaim Rp300 triliun tetapi diperkirakan hanya Rp90 triliun—juga menimbulkan pertanyaan tentang kelayakan model keuangan Danantara.
Agar Danantara berfungsi optimal, INDEF merekomendasikan tiga langkah utama: pertama, penguatan transparansi dan tata kelola melalui audit independen; kedua, penghapusan keterlibatan politik dalam kepemimpinan lembaga; dan ketiga, pemisahan peran regulator dan operator agar keputusan investasi tetap profesional. Jika diterapkan dengan baik, Danantara berpotensi menjadi motor pertumbuhan ekonomi layaknya Temasek (Singapura) dan Khazanah (Malaysia). Namun, tanpa tata kelola yang kuat, lembaga ini berisiko menjadi beban APBN dan alat kepentingan politik tanpa manfaat nyata bagi ekonomi nasional.