Industri pinjaman daring atau peer-to-peer lending (P2P lending) memiliki peran penting untuk meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia karena kemampuannya untuk menjangkau masyarakat yang masuk dalam kategori underbanked dan unbanked. Sepanjang 2024, pinjaman melalui P2P lending mengalami pertumbuhan signifikan dengan tren pertumbuhan pinjaman terus meningkat. Namun, keberlanjutan industri ini sedang melalui masa yang menantang dengan adanya pengusutan dugaan kartel bunga oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), pencabutan 4 izin perusahaan pinjaman daring, kasus buronnya CEO Investree, dan adanya dugaan tindak pidana penipuan dan penggelapan dari Crowdee. Sebelumnya, terdapat pula berbagai kasus seperti bunuh diri, pembunuhan, perceraian, dan berbagai masalah sosialekonomi masyarakat lainnya yang terkait dengan pinjaman daring.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator merespon masalah sosial-ekonomi tersebut dengan memperketat aturan pinjaman daring dengan, salah satunya, menerapkan kebijakan batas atas suku bunga harian pinjaman daring sejak tahun 2024 lalu dengan tingkat batas atas suku bunga harian yang terus menurun secara bertahap pada tahun-tahun berikutnya. Harapannya, kebijakan ini mampu memperkuat pelindungan konsumen sehingga berbagai masalah tersebut dapat ditekan. Respon kebijakan dari regulator berpotensi memiliki berbagai implikasi negatif, termasuk pada inklusi keuangan. Sejumlah literatur dan pengalaman berbagai negara dunia menunjukkan bahwa kebijakan batas atas suku bunga di antaranya berdampak pada penurunan akses kredit, peningkatan biaya pinjaman non-bunga, dan pergeseran ke sektor keuangan informal.
Pada konteks Indonesia, regulasi yang dibuat harus mempertimbangkan keseimbangan antara pelindungan konsumen dan upaya mendorong inovasi dan inklusi. Keseimbangan tersebut mutlak dituangkan dalam kerangka kebijakan, termasuk dalam kebijakan penetapan batas atas suku bunga bagi industri pinjaman daring. Dalam hal ini, penetapan kebijakan batas atas suku bunga harian tanpa adanya kajian mendalam patut dicabut. Oleh karena itu, setidaknya terdapat tiga alternatif kebijakan yang patut OJK prioritaskan terlebih dahulu, yakni transparansi biaya, pengendalian risiko kredit, serta penguatan pengawasan dan penindakan.