Kecamuk perang Rusia-Ukraina semakin membuat harga minyak dunia yang sudah dalam tren peningkatan menjadi naik lebih tinggi lagi, bahkan menembus level USD100 per barrel. Kenaikan harga minyak yang sangat tinggi ini tentu dapat berdampak bagi perekonomian Indonesia. Di sektor perdagangan hubungan dagang Indonesia kepada kedua negara yang sedang berkonflik tersebut relatif masih kecil, kecuali untuk komoditas impor gandum dari Ukraina. Hasil simulasi menggunakan model Global Trade Analysis Project (GTAP) menunjukkan dampak langsung perang dan kenaikan harga minyak dunia di sektor perdagangan relatif kecil.
Namun demikian, dampak tidak langsung diperkirakan cukup besar mengingat baik Rusia maupun Ukraina memiliki tingkat perdagangan yang cukup tinggi dengan AS, China, dan Uni Eropa, di mana negara-negara ini juga merupakan mitra dagang utama Indonesia. Di sektor Fiskal, dampak kenaikan harga minyak dunia yang diiringi peningkatan harga komoditas akan meningkatkan penerimaan APBN, lebih tinggi dari kenaikan belanja. Artinya, dampak bagi APBN secara umum positif. Sayangnya, kenaikan harga minyak akan menggerus daya beli sehingga berpotensi memperlambat pemulihan ekonomi.
Di sektor moneter, implikasi kenaikan harga minyak dapat mendorong inflasi, instabilitas nilai tukar Rupiah, hingga ancaman defisit transaksi neraca berjalan. Kebijakan mempererat perdagangan dengan mitra-mitra Rusia dan Ukraina sebagai peluang menjadi pemasok alternatif perlu dilakukan Indonesia. Di bidang fiskal, kebijakan mendorong belanja sosial untuk bantalan penurunan daya beli sangat diperlukan. Sementara di bidang moneter mitigasi fluktuasi kurs dan risiko imported inflation menjadi pilihan strategi yang dapat meredam dampak negatif kenaikan harga minyak dunia.