Pada 9 September 2024, INDEF menggelar diskusi publik yang membahas penurunan kelas menengah di Indonesia. Tercatat selama 5 tahun terakhir, masyarakat kelas menengah mengalami penurunan sebesar 9,48 juta orang atau turun sebanyak 16,5%. Acara ini menghadirkan sejumlah pembicara, diantaranya: Prof. Bustanul Arifin (Ekonom Senior INDEF), Eko Listiyanto (Direktur Pengembangan Big Data INDEF), dan Yorga Permana (Dosen SBM ITB) yang dipandu oleh moderator Muthia Salsabila (Asisten Peneliti INDEF). Diskusi ini membahas penyebab dan dampak penurunan kelas menengah serta implikasinya bagi perekonomian Indonesia.
Prof. Bustanul Arifin  menekankan bahwa penurunan kelas menengah berdampak negatif pada ekonomi Indonesia, karena kelas ini berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi, tata kelola, dan reformasi kebijakan. Penurunan ini berkaitan dengan transformasi struktural dari sektor pertanian ke manufaktur, yang kontribusinya terhadap PDB terus menurun sejak 1995. Pentingnya penguatan industrialisasi, reformasi tata kelola kebijakan, dan digitalisasi diperlukan untuk mendukung kelas menengah.
Yorga Permana dari SBM ITB menyoroti bahwa kerja layak menjadi kunci untuk mencegah penurunan kelas menengah. Sayangnya, kontribusi sektor informal menjadi yang dominan saat ini, hal ini diperburuk oleh gig economy sejak 2014. Deindustrialisasi menyebabkan perpindahan pekerja ke sektor jasa berkeahlian rendah, sehingga diperlukan dorongan pada sektor jasa berkeahlian tinggi dan kebijakan berbasis klaster untuk meningkatkan lapangan kerja.
Eko Listiyanto mengungkapkan bahwa masyarakat semakin pesimis terhadap kondisi ekonomi, terlihat dari perlambatan konsumsi, penurunan PMI manufaktur, dan deflasi. Indeks ekspektasi konsumen juga turun terkait penghasilan, lapangan kerja, dan kegiatan usaha. Eko menyarankan pemerintah untuk menunda kenaikan harga barang, meningkatkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), melindungi industri padat karya, dan mengakhiri tren suku bunga tinggi guna mendorong sektor riil dan UMKM.