Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menggelar diskusi publik pada 23 September 2024 dengan tajuk “Industri Tembakau Suram, Penerimaan Negara Muram” untuk membahas dampak dari Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPermenkes) terkait pengendalian produk tembakau dan rokok elektronik. Diskusi yang berlangsung di Hotel Manhattan, Jakarta Selatan, ini dihadiri oleh sejumlah pakar ekonomi, perwakilan pemerintah, serta pemangku kepentingan di sektor industri hasil tembakau (IHT).
Dalam acara tersebut, INDEF menyampaikan hasil studi mengenai dampak kebijakan yang diatur dalam PP 28/2024 dan RPermenkes. Kebijakan ini meliputi penerapan kemasan polos tanpa merek, larangan penjualan di sekitar satuan pendidikan, serta pembatasan iklan di luar ruang. Menurut studi INDEF, penerapan kebijakan ini berpotensi memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia, khususnya pada sektor industri tembakau, penerimaan negara, dan tenaga kerja.
Potensi Kerugian Ekonomi Mencapai Rp308 Triliun
Dalam pemaparan Tauhid Ahmad, Ekonom Senior INDEF, penerapan kebijakan kemasan polos, larangan penjualan di radius tertentu, dan pembatasan iklan luar ruang dapat menyebabkan hilangnya potensi ekonomi hingga Rp308 triliun atau setara dengan 1,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Kebijakan ini juga diperkirakan akan menurunkan penerimaan perpajakan sebesar Rp160,6 triliun, setara dengan 7% dari total penerimaan perpajakan nasional.
Dampak tersebut tidak hanya terbatas pada penerimaan negara, tetapi juga terhadap tenaga kerja. Tauhid mengungkapkan bahwa sekitar 2,3 juta pekerja di sektor IHT dan turunannya, yang mencakup 1,6% dari total tenaga kerja Indonesia, berisiko terdampak oleh kebijakan ini.
Tiga Skenario Kebijakan
INDEF melakukan analisis dengan menggunakan tiga skenario kebijakan. Skenario pertama, aturan kemasan polos tanpa merek, diprediksi akan menurunkan permintaan rokok legal sebesar 42,09%, akibat fenomena downtrading dan switching ke rokok ilegal. Skenario kedua, yang melarang penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, diperkirakan dapat menurunkan penjualan ritel rokok sebesar 33,08%. Skenario ketiga, pembatasan iklan luar ruang dan iklan di TV serta platform daring, diperkirakan menurunkan permintaan jasa periklanan hingga 15%.
Tauhid juga memaparkan bahwa setiap skenario kebijakan tersebut memiliki potensi dampak ekonomi yang signifikan. Skenario pertama dapat menyebabkan hilangnya Rp182,2 triliun, sementara skenario kedua dapat menyebabkan kerugian ekonomi sebesar Rp84 triliun, dan skenario ketiga sebesar Rp41,8 triliun.
Kritik Terhadap RPermenkes
Selain paparan dari INDEF, sejumlah pembicara dalam diskusi ini juga memberikan pandangannya. Hari Prasetiyo, Praktisi Hukum Administrasi Negara dari Universitas Indonesia, menyoroti bahwa RPermenkes ini cenderung melebihi kewenangan yang diatur dalam PP 28/2024. Ia menekankan bahwa kebijakan tersebut seolah-olah meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), padahal Indonesia memiliki ekosistem industri tembakau yang berbeda dari negara-negara penghasil tembakau lainnya.
Hari juga menyoroti minimnya ruang diskusi publik selama proses perancangan RPermenkes, yang menimbulkan kekhawatiran dari pelaku industri maupun masyarakat terkait hak konsumen dan dampak kebijakan terhadap industri tembakau.
Dampak Kebijakan pada Industri
Sementara itu, Nugraha Prasetia Yogie dari Kementerian Perindustrian menyoroti dampak kebijakan terhadap produksi tembakau. Dalam lima tahun terakhir, produksi IHT telah menurun sebesar 2,81% per tahun, dan kebijakan kemasan polos dinilai akan semakin memperburuk kondisi ini. Ia juga menekankan bahwa kebijakan ini berpotensi melanggar UU Merek dan Hak Cipta, serta membuka peluang bagi beredarnya rokok ilegal.
Yogie juga menekankan pentingnya pertimbangan yang matang sebelum kebijakan tersebut diterapkan, terutama untuk memberikan kepastian hukum dan melibatkan kementerian terkait dalam perumusan kebijakan. Ia juga menambahkan bahwa pemerintah belum membuka ruang dialog yang cukup bagi para pemangku kepentingan, khususnya dari sektor industri.
Rekomendasi INDEF
Sebagai penutup, INDEF merekomendasikan agar pemerintah mempertimbangkan revisi terhadap PP 28/2024 serta membatalkan RPermenkes yang berpotensi berdampak negatif terhadap perekonomian nasional. Selain itu, INDEF juga mendorong adanya dialog antar kementerian terkait untuk mencari solusi yang lebih inklusif dan mempertimbangkan dampak ekonomi serta sosial dari kebijakan ini.