Kajian Tengah Tahun (KTT) INDEF 2023 merupakan kegiatan yang rutin dilakukan INDEF sebagai upaya mengevaluasi perekonomian terkini Indonesia. Pada tahun ini, KTT mengambil tema “Menolak Kutukan Deindustrialisasi: Menuju Pengarusutamaan Industrialisasi Hijau”. Tema ini diangkat karena adanya fenomena deindustrialisasi yang tengah terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk meningkatkan kinerja industri (reindustrialisai) yang berkelanjutan. Upaya reindustrialisasi berkelanjutan tidak hanya  mampu mengatasi permasalahan deindustrialisasi, tetapi juga mampu  mengintegrasikan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan dalam pengembangan industri.

Deindustrialisasi, penurunan kontribusi sektor industri pengolahan non-migas terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), telah lama terjadi di Indonesia. Penurunan juga terjadi pada aspek output produksi dan tenaga kerja sehingga sektor industri pengolahan turut mengalami penurunan nilai tambah. Peran sektor industri pengolahan terhadap PDB terus menurun sejak tahun 2008. Dari gambar tersebut juga dapat dilihat bahwa dalam 15 tahun terakhir, Indonesia memiliki proporsi industri pengolahan terhadap PDB kedua terendah jika dibandingkan dengan negara sebaya di ASEAN. Pada 2008, kontribusi sektor pengolahan non-migas terhadap PDB mampu mencapai 27,8 persen. Namun pada 2022, kontribusinya hanya sebesar 18,3 persen.

Jika dilihat secara keseluruhan, perekonomian nasional pada tahun ini masih berada pada kondisi normal, sama seperti sebelum adanya pandemi. Kondisi ini terlihat dari kecenderungan laju pertumbuhan PDB yang stagnan sejak tahun 2011. Pertumbuhan PDB Kuartal I-2023 hanya mengalami kenaikan tipis jika dibandingkan dengan Kuartal I-2022, yakni dari 5,02 persen (YoY) menjadi 5.03 persen (YoY). Angka pertumbuhan ini tidak jauh berbeda dengan kuartal yang sama pada tahun sebelum adanya pandemi, berada pada range 5 – 5,1 persen. Selain itu sejak tahun 2012, laju pertumbuhan industri pengolahan non-migas selalu lebih rendah dari pada laju pertumbuhan PDB secara keseluruhan. Padahal, sektor ini merupakan faktor kunci yang menentukan pertumbuhan ekonomi nasional.

Pertumbuhan ekonomi yang solid dan berkelanjutan yang didukung oleh kuatnya sektor industri pengolahan menjadi syarat utama bagi Indonesia untuk bertransformasi menuju perekonomian yang maju. Hilirisasi industri menjadi bagian dari upaya pengembangan industri pengolahan dengan menciptakan struktur industri yang kuat dan bernilai tambah tinggi. Untuk dapat mengimplementasikan hilirisasi industri, terdapat berbagai tantangan yang hadir, di antaranya masih sempitnya dampak hilirisasi pada perekonomian, adanya permasalahan pada faktor produksi, dan lemahnya regulasi dalam penerapan industri berkelanjutan.

Setidaknya terdapat beberapa faktor yang menjadikan industrialisasi berkelanjutan perlu diterapkan di Indonesia. Industrialisasi berkelanjutan dapat menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan mendorong sektor industri yang efisien dan inovatif, negara dapat meningkatkan produktivitas, menciptakan lapangan kerja baru, dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Selain itu, industrialisasi berkelanjutan juga akan membantu mengurangi ketergantungan terhadap sektor-sektor primer yang saat ini menjadi sektor andalan Indonesia seperti pertanian, perikanan, dan pertambangan, sehingga mengurangi kerentanan terhadap fluktuasi harga komoditas, perubahan iklim dan mampu meningkatkan nilai tambah produksi sehingga mampu bersaing di tingkat global.

Percepatan transisi energi dari sumber energi beremisi tinggi ke energi bersih merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi Indonesia dalam mewujudkan industri berkelanjutan. Pemerintah telah meningkatkan target komposisi Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) dalam bauran energi menjadi sebesar 23% pada tahun 2025 dan 31% pada tahun 2050. Dalam mendukung percepatan transisi energi tersebut, pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik guna mendorong target penurunan emisi Indonesia tahun 2030. Dukungan tersebut juga harus diiringi dengan dukungan keuangan melalui pendanaan hijau (green financing) untuk mendorong terciptanya industri berkelanjutan melalui dukungan permodalan. Dengan berbagai dukungan ini, diharapkan Indonesia berpeluang mencapai target net zero emissions pada tahun 2060 atau lebih cepat sesuai dengan Perjanjian Paris.

Penerapan industrialisasi berkelanjutan dengan menggunakan energi bersih tentunya memerlukan kajian dari berbagai pemangku kepentingan bersama dengan para ekonom untuk menghadirkan solusi yang komprehensif. Oleh karena itu, INDEF menyelenggarakan kegiatan Kajian Tengah Tahun (KTT) 2023 sebagai bentuk sumbangsih pemikiran, ide, dan gagasan terbaru yang akan disampaikan kepada pemerintah Indonesia.

Share

Author

Publikasi Terkait