Kebijakan fiskal di Indonesia masih menjadi andalan untuk menyokong pertumbuhan ekonomi. Namun sayang, perannya di Indonesia belum begitu nyata. Kontribusi belanja pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) misalnya tidak lebih dari 10%; sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya.
Belum optimalnya peranan pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi bersumber dari problema di sisi pendapatan dan belanja. Target-target penerimaan perpajakan, yang menjadi sumber utama pendapatan negara, tidak terealisasi maksimal, bahkan cenderung melambat. Pada bagian lain, sebagain besar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sangat bergantung pada harga komoditas, sehingga sulit memaksimalnya ketika permintaan ekonomi global melambat.
Struktur belanja pemerintah masih didominasi belanja rutin, yang tidak produktif. Belanja untuk stimulus perekonomian, terutama belanja modal, mulai meningkat, namun belum cukup memenuhi kebutuhan perekonomian untuk tumbuh tinggi. Sementara itu, realisasi belanja modal relatif rendah baik di pusat maupun di daerah. Hal ini tergambar dari tingginya porsi dana menganggur di perbankan, rata-rata di atas 30 persen dan mencapai puncak pada September tahun berjalan.
Belanja modal dan infrastruktur yang meningkat, nyatanya tidak menyebabkan penyerapan tenaga kerja sektor konstruksi meningkat. Ini menjadi kritik karena dominannya penggunaan tenaga kerja asing, meski untuk pekerja kasar.
Agar stimulus fiskal dapat memberi pengaruh nyata pada pertumbuhan ekonomi, Pemerintah perlu: menekan belanja rutin, mewaspadai dampak jangka pendek dari transmisi stimulus fiskal yang berorientasi jangka panjang (bangun infrastruktur), mendorong pemerintah daerah untuk meningkatkan realisasi belanja modal dari Dana Alokasi Umum (DAU), dan meningkatkan penerimaan perpajakan sebagai sumber pendapatan utama.