Selama periode 2020-2022, Pemerintah dengan dukungan DPR RI telah mengeluarkan kebijakan extraordinary dalam rangka penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional. Dalam menghadapi masa-masa sulit itu, Pemerintah menerbitkan Undang-Undang No.2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Melalui payung hukum tersebut, Pemerintah memiliki fleksibilitas tinggi dalam melonggarkan defisit APBN melebihi 3 persen terhadap PDB untuk periode 2020-2023. Dengan adanya pelonggaran fiskal tersebut, Pemerintah dapat menambah anggaran subsidi dan kompensasi energi di tahun 2022 dari Rp152,5 triliun menjadi Rp502,4 triliun.
Namun, kapasitas fiskal di tahun 2023 menghadapi risiko besar karena defisit APBN harus kembali ke bawah 3 persen terhadap PDB. Artinya, jika terjadi perubahan angka parameter subsidi dan kompensasi energi, terutama variabel harga minyak mentah Indonesia (ICP) dan nilai tukar Rupiah, maka pemerintah harus mengantisipasi risikonya terhadap potensi tambahan anggaran subsidi dan kompensasi energi yang tidak seluruhnya bisa ditanggung APBN. Untuk mengidentifikasi risiko tambahan kebutuhan subsidi dan kompensasi energi tahun 2023, INDEF menyusun tujuh simulasi perubahan subsidi dan kompensasi BBM dan LPG. Di dalam APBN 2023, Pemerintah menetapkan asumsi ICP sebesar US$ 90/barel dan kurs Rp14.800/US$. Dengan simulasi kenaikan harga ICP hingga US$ 100/barel dan kurs Rp15.000/US$ maka potensi tambahan subsidi dan kompensasi BBM dan LPG sebesar Rp62,1 triliun yang menyebabkan defisit APBN meningkat menjadi 3,13 persen terhadap PDB. Dalam mengantisipasi risiko tersebut, Pemerintah setidaknya memiliki 3 opsi kebijakan yaitu (i) pembatasan distribusi BBM dan LPG sehingga terjadi penghematan kuota; (ii) penyesuaian harga jual BBM dan LPG: (iii) kombinasi keduanya antara pembatasan kuota dan penyesuaian harga jual.
INDEF berpandangan bahwa opsi penyesuaian harga menjadi last resort karena mempertimbangkan implikasinya terhadap inflasi dan tingkat kemiskinan. Alternatifnya, Pemerintah dapat melakukan pembatasan distribusi BBM dan LPG sehingga ketika kuota subsidi dapat dikurangi 10% maka APBN masih dapat dijaga di level 2,98 persen terhadap PDB. INDEF memandang bahwa kebijakan pembatasan tersebut menjadi jalan terbaik mengingat dari hasil simulasi INDEF menunjukkan bahwa 40% kelompok masyarakat berpendapatan rendah (desil 1-4) hanya menerima Rp52,2 triliun total subsidi dan kompensasi BBM dan LPG. Sedangkan 60% masyarakat mampu (desil 5-10) memperoleh total subsidi dan kompensasi hingga Rp107,1 triliun.